III. Citta Vagga - Pikiran
(37) Pikiran itu selalu mengembara jauh,
tidak berwujud, dan terletak jauh di lubuk hati.
Mereka yang dapat mengendalikannya,
akan bebas dari jeratan Mara.
---------------------------------------------------------------------------------------------------------
Suatu hari, tinggallah di Savatti, seorang bhikkhu senior yang bernama
Sangharakkhita. Ketika saudara perempuannya melahirkan anak laki-laki,
dia memberi nama anaknya sesuai nama Sangharakkhita, belakangan anak itu
dikenal dengan nama Sangharakkhita Bhagineyya. Keponakan
Sangharakkhita, setelah tiba waktunya, juga memasuki pasamuan sangha.
Ketika bhikkhu muda tsb tinggal di suatu vihara desa, ia diberi dua buah jubah, dan ia bermaksud memberikan satu jubah kepada pamannya, Sangharakkhita Thera. Setelah masa vassa berakhir, bhikkhu muda itu pergi ke pamannya untuk memberi hormat kepadanya dan memberikan jubah. Tetapi pamannya menolak untuk menerima jubah itu, dan berkata bahwa ia sudah mempunyai cukup. Walaupun bhikkhu muda mengulangi lagi permintaannya, pamannya tetap tidak mau. Bhikkhu muda itu menjadi berkecil hati dan berpikir karena pamannya begitu tidak sudi berbagi dengannya, akan lebih baik baginya untuk meninggalkan pasamuan Sangha dan hidup sebagai seorang perumah tangga.
Sejak saat itu, pikirannya mengembara dari pikiran yang satu ke pikiran yang lain. Ia berpikir bahwa setelah meninggalkan pasamuan Sangha, ia akan menjual jubahnya dan membeli seekor kambing betina; kambing betina itu akan segera melahirkan anak dan ia akan mempunyai uang cukup untuk menikah; istrinya akan melahirkan seorang anak laki-laki. Ia akan membawa istri dan anaknya dengan sebuah kereta kecil untuk mengunjungi pamannya di vihara. Dalam perjalanan, ia berkata bahwa ia akan menggendong anaknya. Tetapi istrinya berkata kepadanya agar ia mengendarai kereta saja dan jangan sibuk mengurusi anak. Ia kemudian akan bersikeras dan merebut anak dari istrinya; sewaktu terjadi perebutan, anak itu akan terjatuh dan terlindas roda kereta. Dia akan menjadi sangat marah dan akan memukul istrinya dengan cemeti.
Pada saat itu ia sedang mengipasi pamannya dengan kipas daun palem dan dengan tidak sengaja memukul kepala pamannya dengan kipasnya. Sangharakkhita tua mengetahui pikiran bhikkhu muda itu dan berkata, "Kamu tidak sanggup menghajar istrimu; mengapa kamu menghajar seorang bhikkhu tua?" Sangharakkhita muda sangat terkejut dan malu atas kata-kata bhikkhu tua itu. Ia juga menjadi sangat ketakutan dan kemudian melarikan diri. Bhikkhu-bhikkhu muda dan para samanera di vihara itu mengejarnya dan akhirnya membawanya kehadapan Sang Buddha.
Setelah diceritakan kejadiannya, Sang Buddha berkata bahwa pikiran memiliki kemampuan untuk memikirkan suatu objek walaupun obyek itu amat jauh, dan seseorang seharusnya berusaha keras untuk bebas dari belenggu lobha, dosa, dan moha (keserakahan, kebencian, dan kebodohan/kegelapan batin).
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair berikut ini:
"Dūrangamaṃ ekacaraṃ asarīraṃ guhāsayaṃ
ye cittaṃ saññamessanti mokkhanti mārabandhanā"
Pikiran itu selalu mengembara jauh,
tidak berwujud, dan terletak jauh di lubuk hati.
Mereka yang dapat mengendalikannya,
akan bebas dari jeratan Mara.
Bhikkhu muda mencapai tingkat kesucian sotapatti setelah khotbah Dhamma itu berakhir.
Ketika bhikkhu muda tsb tinggal di suatu vihara desa, ia diberi dua buah jubah, dan ia bermaksud memberikan satu jubah kepada pamannya, Sangharakkhita Thera. Setelah masa vassa berakhir, bhikkhu muda itu pergi ke pamannya untuk memberi hormat kepadanya dan memberikan jubah. Tetapi pamannya menolak untuk menerima jubah itu, dan berkata bahwa ia sudah mempunyai cukup. Walaupun bhikkhu muda mengulangi lagi permintaannya, pamannya tetap tidak mau. Bhikkhu muda itu menjadi berkecil hati dan berpikir karena pamannya begitu tidak sudi berbagi dengannya, akan lebih baik baginya untuk meninggalkan pasamuan Sangha dan hidup sebagai seorang perumah tangga.
Sejak saat itu, pikirannya mengembara dari pikiran yang satu ke pikiran yang lain. Ia berpikir bahwa setelah meninggalkan pasamuan Sangha, ia akan menjual jubahnya dan membeli seekor kambing betina; kambing betina itu akan segera melahirkan anak dan ia akan mempunyai uang cukup untuk menikah; istrinya akan melahirkan seorang anak laki-laki. Ia akan membawa istri dan anaknya dengan sebuah kereta kecil untuk mengunjungi pamannya di vihara. Dalam perjalanan, ia berkata bahwa ia akan menggendong anaknya. Tetapi istrinya berkata kepadanya agar ia mengendarai kereta saja dan jangan sibuk mengurusi anak. Ia kemudian akan bersikeras dan merebut anak dari istrinya; sewaktu terjadi perebutan, anak itu akan terjatuh dan terlindas roda kereta. Dia akan menjadi sangat marah dan akan memukul istrinya dengan cemeti.
Pada saat itu ia sedang mengipasi pamannya dengan kipas daun palem dan dengan tidak sengaja memukul kepala pamannya dengan kipasnya. Sangharakkhita tua mengetahui pikiran bhikkhu muda itu dan berkata, "Kamu tidak sanggup menghajar istrimu; mengapa kamu menghajar seorang bhikkhu tua?" Sangharakkhita muda sangat terkejut dan malu atas kata-kata bhikkhu tua itu. Ia juga menjadi sangat ketakutan dan kemudian melarikan diri. Bhikkhu-bhikkhu muda dan para samanera di vihara itu mengejarnya dan akhirnya membawanya kehadapan Sang Buddha.
Setelah diceritakan kejadiannya, Sang Buddha berkata bahwa pikiran memiliki kemampuan untuk memikirkan suatu objek walaupun obyek itu amat jauh, dan seseorang seharusnya berusaha keras untuk bebas dari belenggu lobha, dosa, dan moha (keserakahan, kebencian, dan kebodohan/kegelapan batin).
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair berikut ini:
"Dūrangamaṃ ekacaraṃ asarīraṃ guhāsayaṃ
ye cittaṃ saññamessanti mokkhanti mārabandhanā"
Pikiran itu selalu mengembara jauh,
tidak berwujud, dan terletak jauh di lubuk hati.
Mereka yang dapat mengendalikannya,
akan bebas dari jeratan Mara.
Bhikkhu muda mencapai tingkat kesucian sotapatti setelah khotbah Dhamma itu berakhir.
0 komentar:
Post a Comment